My idea is not for sale or rent but can use by permission <<==>> Ide saya tidak di jual atau di sewakan, tapi dapat di pakai dengan seizin saya

Kamis, 25 Desember 2008

AKURASI MEDIS NEGERI JIRAN

Membaca judul diatas dalam sebuah majalah edisi Juni 2006, saya berharap menemukan jawaban mengapa demikian, atau mana yang mempumyai nilai plus dalam skala perbandingan kita dengan jiran. Namun saya kecele, karena kontribotor majalah tersebut tidak bermaksud memaparkan hal yang bersifat kontroversial sebab mungkin dia sedang menghindari pariwara yang tak perlu. Sayang sekali karena kontributor majalah itu tidak mau menulis seperti apa adanya. Sifat ke-wartawanan-nya ternyata telah hilang. “Qulil haqqu walau kana muran” ternyata menjadi kalimat yang tak lagi bermakna baginya.

Sebetulnya, yang namanya “medis” dibelahan dunia manapun tetap sama saja. Tapi – ada tetapinya - mengutip iklan suatu media cetak : SEMUA PENA ITU SAMA SAJA, YANG MEMBEDAKAN ADALAH TANGAN-TANGAN PIAWAI YANG MEMAINKANNYA. Kita semua tahu, semua orang membeli pena untuk menulis, tak ada yang mebuatnya sendiri sehingga tulisannya khas pena buatan sendiri, kan? Lantas, apa yang menyebabkan terjadi perbedaan yang begitu menyolok antara medis Indonesia dengan medis negara jiran? Oleh para pakar akan dijawab cukup ilmiah : “Banyak faktor yang perlu dikaji dan diteliti untuk mendapat jawabannya”. Saya jadi teringat kata-kata salah satu dosen saya dulu, drh. David Napitupulu yang selalu mengatakan begini :”Jangan menjerumuskan diri dengan FAKTOR-FAKTOR, jujur saja bahwa hanya ada SATU FAKTOR, tidak ada faktor-faktor”. Beliau memberi contoh begini : Kenapa Bis Kota di Jakarta penuh sesak? Kenapa di Mataram terjadi kelaparan? Kenapa air laut merangsek jauh kedarat dibumi Pulau Jawa? Kenapa di Sumatera Utara banyak preman? Dan masih banyak lagi pertanyan serupa itu, yang oleh pakar selalu dijawab dengan “banyak faktor” yang mempengaruhinya. Beliau menegaskan bahwa tidak ada faktor-faktor, yang ada hanya satu faktor saja, yakni “pertambahan penduduk yang tak seimbang dengan kesejahterannya”. Nah...... Faktor apa pula yang menyebabkan medis negeri jiran itu menjadi lebih akurat? Lebih disenangi dan lebih memuaskan pasiennya?

Dalam kaitan dengan akurasi medis negeri jiran seperti yang disinggung diatas, saya ingin membawa anda menelusuri sebuah rumor yang berkembang, dalam anekdot berikut : Dua orang dokter yang bersekolah di Jerman, mengambil spesialis yang sama, juga di Jerman. Setelah mereka lulus dengan predikat yang sama, mereka pulang kampung. Yang satu ke Malaysia (A) dan yang satu lagi (B) ke Indonesia. Lima tahun kemudian B datang berkunjung ketempat A. Terjadi dialog begini :

B : Mana rumah mu?

A : Salah satu dari rumah panjang itu.

B : Salah satu petak dari rumah itu? Bukankah itu rumah untuk kakitangan (pegawai) kerajaan?

A : Rumah itu milik saya sendiri yang saya bayar dengan jerih payah saya.

B : Mana kereta (mobil) mu?

A : (menunjuk mobil proton terbaru yang terparkir didepan rumah tanpa garasi)

B : Hanya satu? Lalu keluargamu pakai kereta mana?

A : Ini kereta keluarga, saya diantar jemput oleh kereta Hospital (rumah sakit).

B : Apakah semua ini membuat mu hidup senang dan bahagia?

A : Insya Allah, saya dibayar 6.000 ringgit (Rp.15.000.000) tiap dua pekan.

B : Hebat, tapi .....

Lantas sebulan kemudian A datang berkunjung ketempat B :

A : Mana rumah mu?

B : (menunjuk rumah gedung yang berdiri megah bagai istana).

A : Milikmu kah itu?

B : So pasti lah. (Jawaban dengan rasa bangga).

A : Mana kereta (mobil) mu?

B : (dengan bangga menunjukkan 4 mobil mewah yang ada dalam garasi).

A : Kamu pasti senang dan bahagia dengan semua ini, berapa bayaran (gaji) mu?

A : Gajiku lebih 2.000.000 rupiah (800 ringgit) tiap bulan. Tapi penghasilan diluar gaji lebih besar lagi, yakni lebih 100.000.000 rupiah (40.000 ringgit).

B : dalam hati (O... dia korupsi rupanya, pantas banyak hartanya).

Nah, rumor itu terserah anda percaya atau tidak, juga terserah anda untuk menafsirkan makna yang tersirat didalamnya. Begitulah gambaran kehidupan yang dijalani dokter kita pada umumnya. Pasien adalah sumber rezeki baginya, tidak segan-segan meminta bayaran yang mahal pada pasien yang dilayaninya. Meski terkadang layanan yang diberikan hanya sekedar menuliskan resep saja pada selembar kertas kecil tanpa pemeriksaan langsung terhadap pasien. Dan lebih tragis lagi, dokter tidak merasa bertangung jawab jika pasien meninggal dalam layanannya, sebab bukankah umur pasien itu tidak ditangan dokter? Malah dokter tidak merasa bersalah jika ternyata obat yang diberikannya itu tidak menyembuhkan pasien, sebab dokter hanya berusaha, yang menyembuhkan itu Tuhan. Kalaupun obat itu menyebabkan penyakitnya lebih parah, keracunan atau malah meninggal dunia, memang ajal pasien itu sudah tiba. Apa kuasa manusia untuk menolaknya? Dokter itu kan manusia biasa juga? Begitulah kilah sang dokter yang seenaknya menyalahkan Tuhan.

Semestinya kontributor penulis artikel itu tidak melihat sepintas lalu, sedangkal orang melihat sambil berdarmawisata saja. Ada banyak pengalaman orang baik yang berhasil sembuh maupun yang tidak berhasil sembuh yang dapat dijadikan referensi, sehingga paling tidak akan menjadi gambaran yang cukup jelas kenapa medis negara jiran lebih akurat dari medis dinegara kita. Saya (penulis) cukup banyak mendengar langsung mereka yang pulang berobat dari negeri jiran itu, dan bahkan juga sudah pernah datang melihat dari dekat Hospital disana. Barang kali pengalaman pasien berikut ini dapat dijadikan referensi seperti yang diperlukan.

Seorang karyawan PT AAF, orang tuanya yang perempuan, sudah berusia lebih 80 tahun tiba-tiba sakit keras. Dokter puskesmas yang dipangil kerumah mengatakan bahwa terjadi pengapuran ditulang belakangnya. Dokter itu pun memberikan obat untuk menolongnya. Orang sakit bukannya membaik, beberapa hari kemudian beliau mengeluh sakit dibagian perutnya. Penulis menyarankan agar pengobatan diarahkan pada tulang belakang, sebab ditulang belakang itu terdapat kumpulan saraf, jika benar pengapuran, itu menyebabkan saraf terjepit sehingga muncul penyakit lain diujung saraf yang terjepit itu. Tapi bagimana hal itu dapat dicerna oleh mereka? Jika pengapuran ditulang belakang kenapa yang sakit dibagian perut?. Karena itu dibawanya ke Rumah Sakit di Medan. Dokter mendiagnosa penyakitnya adalah “peradangan rahim”. Aneh bin ganjil sekali, bagaimana tidak aneh, logika awamnya begini : Suaminya telah lebih 20 tahun meninggal, kok tiba-tiba radang rahim? Dua mingu kemudian dinyatakan sembuh dan boleh pulang. Ternyata tak lama kemudian terpaksa dilarikan kembali ke Medan. Kali ini diagnosanya adalah radang ginjal. Nampaknya, penyakit rahim pindah ke ginjal pula. Sepulang dari Medan terpaksa dilarikan pula ke Medan untuk yang ketiga kalinya dengan keluhan yang lain kerumah sakit yang berbeda lagi. Kali yang keempat dilarikan ke Rumah Sakit PMI Lhokseumawe karena beliau muntah berwarna kehitam-hitaman. Dokter mendiagnosanya sebagai luka pada lambung. Karena sudah empat kali berobat pada empat RS yang berbeda, mereka meminta pendapat pada salah satu dokter RS PMI Lhokseumawe itu untuk pertimbangan membawa berobat ke RS di negara jiran. Ini lah pendapat yang disampaikan oleh dokter itu : “Pasien ini sudah lanjut usia, kemanapun dibawa berobat hasilnya sama saja, tidak akan kembali sehat seperti sedia kala. Beliau telah uzur, ya paling-paling hanya bisa berjalan selangkah-selangkah, itu pun tidak bisa jauh. Masalah kedokteran di manapun tidak ada bedanya”. Mendengar saran dokter tersebut, keluarga pasien menjadi pasrah, pasrah menanti malaikat maut datang menjemput. Penulis memberi saran bahwa tidak ada salahnya mencoba. Cukup banyak pasien yang berhasil sembuh dinegara jiran dibandingkan yang gagal. Malah sepengetahuan penulis, pernah seorang isteri Kepala Dinas Kesehatan pun dibawa berobat kesana. Kepala Dinas Kesehatan (dokter), tentu paham betul RS di Aceh, di Medan bahkan di Jakarta sekalipun. Mengapa pilihan beliau ke negeri jiran? Atas saran dan keterangan penulis, akhirnya pasien tersebut dibuatkan paspor dan kemudian diterbangkan ke negeri jiran dengan pesawat terbang melalui bandara polonia Medan.

Ketika pasien (orang tua karyawan PT AAF) itu tiba dirumah sakit negara jiran, segera disambut dengan baik dan tanpa buang waktu segera diperiksa. Mereka melakukan anamnesa (wawancara) dengan pasien dan keluarga pasien dengan teliti. Kemudian segera dimasukan keruang Rontgent. Bagian demi bagian tubuh pasien dirontgent. Saat pasien diperiksa, tak seorangpun keluarga dibolehkan mendampingi. Ada 8 jam keluarganya menanti diruang tunggu, tanpa tahu apa yang harus diperbuat, juga tidak tahu yang sakit itu sedang diapakan. Ketika akhirnya dibawa ke ruang rawat-inap, kata dokter disana, ada pembengkakan diruas tulang belakang pasien. Esok pagi baru dapat diketahui apa penyakitnya yang sebenar. Apa yang dikatakan oleh dokter Indonesia, semuanya dibantah oleh dokter di negeri jiran itu. Mereka sama sekali tidak mau mengunakan hasil pemeriksan dokter Indonesia.Tidak ada kelainan apapun yang terlihat selain pembengkakan tulang belakang. Pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan Laboratorium terhadap kencing dan tinja. Juga tidak ada apa-apa ditemukan kelainan. Pada pemeriksan lainnya ditemukan adanya gejala kolesterol. Esoknya dokter memastikan bahwa penyakit beliau itu adalah TBC tulang, sudah menunjukkan adanya nanah. Pengobatan mulai difokuskan untuk TBC tulang belakang, tidak mungkin dilakukan pembedahan sebab beliau sudah berusia lanjut, maka hanya diberi obat minum saja dan itu perlu waktu yang panjang. Diperkirakan perlu waktu setahun lamanya dalam pengobatan itu.

Tahukah anda bagaimana pelayanan yang diberikan pada pasien? Keluarga pasien yang boleh menyertai pasien hanya seorang saja, karena pasien perempuan maka yang menjaganya juga harus perempuan, tidak dibenarkan yang laki-laki. Sebentar-sebentar perawat datang melihat dan memeriksa pasien itu, mencatat apa yang dilakukannya pada kertas laporan yang diletakkan dekat pasien. Setelah selesai diperiksa dan dilayani, perawat itu pergi. Datang perawat yang lain melanjutkan layanan dan mencatat lagi di laporan. Datang pula dokter tanpa didampingi perawat, dia melihat laporan, lalu memeriksa pasien dan memberi saran-saran yang perlu kepada pasien dan keluarga pasien. Perawat dan dokter datang bergiliran hampir berirama dalam tempo 15 atau 20 menit sekali.

Baik pasien maupun keluarganya, semuanya diberi pemahaman tentang penyakit yang diderita pasien, serta upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk menyembuhkannya. Dokter menerangkan bahwa pasien tidak perlu dirawat di Hospital berlama-lama, karena biayanya menjadi amat mahal, akan diberikan obat untuk diminum selama jangka waktu 4 bulan. Ketika sudah agak membaik keadannya sudah boleh pulang kerumah, ternyata hanya 4 hari saja menginap di Hospital. Nanti setelah 4 bulan harus kembali lagi untuk diperiksa ulang dan dilanjutkan pengobatannya. Pasien tersebut ternyata merasa sangat nyaman, keyakinan sembuh terlukis dalam senyumannya tiap saat ketika disapa Perawat atau Dokter. Dokter yang paling lama berbincang dengan pasien, Perawat lebih banyak aktif merawat pasien termasuk meminumkan obat dari pada berbincang. Sepertinya pasien yang dirawatnya sangat banyak dan bersifat istimewa. Begitulah tingkah polah perawat dan dokter terhadap pasien. Semua dokter dan perawat datang bergiliran secara berganti-ganti, sehingga keluarga pasien nyaris tidak diperlukan. Suatu keadaan yang sangat bertolak belakang dengan layanan Rumah Sakit di Indonesia. Dan hebatnya lagi, hanya satu dokter yang mengkoordinir apa yang pelu diperiksa dan obat apa yang perlu diberikan. Layanan perawat pun begitu, kegiatan yang dilakukannya terhadap pasien dicatatnya dalam laporan didekat pasien, sehingga perawat berikutnya yang datang sudah tahu apa yang sudah dan apa yang belum dilakukan terhadap pasien itu. Pasien benar-benar merasa istimewa dan sangat dipentingkan di Hospital itu.

Kini keluarga karyawan PT AAF itu telah kembali kerumahnya, melanjutkan minum obat hingga tiba waktu periksa ulang. Penulis sudah menanyakan beberapa hal tentang layanan yang diberikan. Malah dokter memberitahu pasien dan keluarga pasien apa yang mungkin terjadi setelah pulang dan upaya apa yang perlu dilakukan. Sebab itu, ketika terjadi pembengkakan pada tungkai bawah (kaki) pasien, keluarganya tidak merasa khawatir. Ternyata sehari kemudian pembengkakan itu menyusut kembali.

Pada pasien lain, ada pula pengalaman yang rada aneh. Seorang lelaki yang sudah bosan berobat di Indonesia sebab sudah menghabiskan uang yang cukup banyak ternyata tak berhasil disembuhkan. Ketika tiba dan diperiksa di Hospital negara jiran, juga tidak ditemukan penyebab yang pasti. Pemeriksan telah berjalan selama 3 hari, yang diberikan sebagai terapi (pengobatan) hanyalah vitamin-vitamin. Pada hari ke 4 baru ditemukan penyebab penyakitnya itu dan cukup mengejutkan. Ternyata penyebab penyakitnya itu adalah karena berhenti merokok sudah 3 tahun lamanya. Maka dokter menyarankan agar pasien tersebut merokok kembali. Ketika dia merokok kembali penyakit yang dikeluhkannya pun hilang.

Nah, kembali kepokok masalah. Jika medis tidak berbeda dibelahan dunia manapun, apa yang menyebabkan perbedaan yang begitu mencolok dalam hal akurasi medis Indonesia dan negara jiran itu? Hanya ada satu faktor yang menyebabkannya dan bukannya banyak faktor. Yakni faktor “manusianya”. Dokter dan Paramedis di Indonesia memiliki “praktek pribadi” sedangkan di negar jiran tidak. “Kemanusian” di negara jiran adalah milik pasien sedangkan di Indonesia milik Dokter dan Paramedis. Dokter dan Paramedis di Indonesia “lebih pandai” dari negara jiran maka tidak heran jika cukup dengan melihat dan meraba saja sudah dapat diketahui penyakit pasien dan sekali gus diketahui apa obatnya. Lebih tragis lagi, dokter dan paramedis negara jiran itu merasa “bertanggung jawab” sehingga tidak perlu “menyalahkan” Tuhan.

Memperbaiki faktor “manusia” dalam kancah medis indonesia, penulis ingin menyumbang saran agar “manusia sakit” benar-banar diperlakukan sebagai orang yang penting mendapat perhatian ketika ia dirawat di rumah sakit.

Langkah pertama adalah melepaskan rumah sakit sehingga menjadi lembaga independen yang bersifat “swasembada”. Untuk memulainya perlu didirikan Rumah Sakit percontohan yang sejak awal sudah diarahkan kesana. Rumah Sakit yang tidak tergantung dananya dari siapapun selain dari pasien yang dilayaninya, dan bukan hanya semata untuk mendapatkan keuntungan, tapi juga untuk pengembangannya, baik pengembangan sarana maupun sumberdaya manusianya. Artinya, dengan dana yang diperoleh dari perawatan pasien, Rumah sakit itu dikembangkan. Perawat yang berdedikasi tinggi dan berprestasi selain mendapat penghasilan lebih tinggi, juga didkirim untuk mengikuti pendidikan keperawatan yang lebih tinggi lagi yang terdapat di manca negara. Demikian pula Dokternya, jika menunjukkan prestasi yang cukup baik dalam pelayanannya, diberikan penghasilan lebih tinggi dan diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan spesialis yang diinginkannya yang kemudian hari berguna dirumah sakit tersebut. Baik Dokter maupun Paramedis, tidak dibenarkan membuka praktek pribadi karena sudah terikat kerja dengan rumah sakit tersebut. Dan untuk antisipasinya tentu saja penghasilan mereka mirip kalau tidak persis sama dengan mereka yang bekerja di Bank.

Singkatnya, rumah sakit itu adalah rumah sakit yang benar-benar membuat orang sakit menjadi “sangat penting” sehingga tidak sembarangan melayaninya, tidak membiarkan siapapun keluarganya melayani keperluan si sakit selain dari petugas rumah sakit. Tidak membiarkan siapapun datang menjenguk orang sakit secara berombongan seperti yang terlihat selama ini sehingga ada kalanya ruangan menjadi penuh sesak dengan pengunjung, apalagi jika yang sakit itu sangat disayangi oleh masyarakat.

Keadaan itu akan tetap demikian selama tidak ada upaya memperbaikinya serta yang bersangkutan tidak ingin diperbaiki. Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum selama kaum itu sendiri tidak berupaya merobahnya. Cukup sederhana sekali bukan? Semoga tulisan ini bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Template by : kendhin x-template.blogspot.com