My idea is not for sale or rent but can use by permission <<==>> Ide saya tidak di jual atau di sewakan, tapi dapat di pakai dengan seizin saya

Selasa, 14 April 2009

INDONESIA BERSATU, SAMPAI KAPAN?

Setiap yang dilahirkan, akan beranjak remaja, dewasa dan kemudian mati. Itu lah fenomena kehidupan. Indonesia sudah berusia 63 tahun, jika diukur dengan umur manusia, sudah diambang senja. Apakah demikian pula yang akan terjadi? Jika Anda bilang tidak demikian, lantas kenapa rakyat Indonesia masih dibalut oleh kemiskinan? Berapa lama lagi akan tercapai kemakmuran yang kita dambakan? Mungkin tidak berlebihan jika saya katakan, perlahan tapi pasti, kita sedang merangkak menuju titik dimana kita akan terpecah belah. Mari kita coba telaah dengan seksama agar hal itu dapat difahami.
Pada tahun 2000 yang lalu, berhimpun ratusan mahasiswa yang sedang studi di Luar Negeri, mengadakan suatu perhelatan besar di Negeri Belanda. Mereka melaksanakan seminar tentang Indonesia. Seakan-akan mereka melihat Indonesia berjalan kearah yang salah, atau tersesat. Hasilnya sungguh mengejutkan, 25 tahun lagi Indonesia akan cerai berai. Begitu kesimpulan mereka. Saat saya cerna apa yang tertuang dalam media massa tentang hasil seminar mereka itu, saya terhenyak. Benarkah ? Itu lah pertanyaan yang muncul, baik saat saya menganalisa informasi tersebut, maupun mungkin saat Anda membaca tulisan saya ini. Sepertinya, prakiraan mereka adalah dengan membandingkan situasi kekinian dengan arah yang diinginkan sudah tidak relevan lagi. 25 tahun lagi sejak mereka seminar, berarti mereka meramalkan Indonesia bakal bubar sekitar tahun 2025. Bayangkanlah....
Kita semua, mungkin tidak menyadari bahwa benih-benih perpecahan sudah tersemai dimana-mana diseluruh Indonesia. Ketika saya di Jakarta, kawan-kawan selalu menyajikan cerita yang memojokkan Aceh, Sumatera Utara, Sulawesi, Irian Jaya dan lain-lain. Saya tidak tahu kenapa kawan-kawan menyajikan cerita yang bersifat “Prasangka dan Diskriminasi” itu. Misalnya, untuk Aceh ; Mereka bertanya : Apa beda Aceh dan Jakarta? Jawabannya : Di Aceh banyak sungai sedikit jembatan, sedangkan di Jakarta banyak jembatan sedikit sungai. (Di Jakarta banyak jembatan untuk menyeberang jalan, maksudnya). Untuk Sulawesi; Kenapa orang Sulawesi bisa memasak dimana-mana, sedangkan orang Jawa hanya bisa memasak dirumah saja? Jawabannya : Pisau dapur orang Jawa hanya ada di dapur, sedangkan orang sulawesi dibawanya kemapun ia pergi. (Orang Sulawesi adatnya memang membawa pisau kecil/badik bersamanya. Kawan saya dari Sulawesi hampir semuanya membawa badik yang diselipkan dalam kaus kaki sepatunya). Untuk Sumatera Utara; Seorang kontraktor, membangun sebuah gedung yang hampir rampung di Medan. Didatangi oleh sekelompok orang yang berpakaian gagah. “Pembangunan gedung ini harus dihentikan karena kalian belum bayar pajak,” katanya. Sang kontraktor masuk kebedengnya sebentar dan keluar lagi dengan segepok kertas tanda bukti semua persyaratan sudah dipenuhinya. “Tidak bisa,” kata orang itu lagi, “kaliar belum bayar Pajak Preman,” katanya. (Maksudnya belum bayar upeti kepada para preman diwilayah gedung itu dibangun). Masih banyak lagi cerita serupa itu untuk kawan-kawan di Kalimantan, Mataram dan Irian Jaya. Semuanya menggambarkan bahwa yang bicara dan lawan bicaranya tidak sama-sama Indonesia. Rupanya, jika itu hanya sekedar cerita, kini sudah tumbuh subur menjadi PENYEBAB yang sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup Indonesia.
Perlu di catat, bahwa hal pertama penyebab Indonesia cerai berai adalah ketidak-adilan sosial dan Ekonomi. Presiden Kita sudah 5 orang, tak ada seorangpun yang mampu memakmurkan Indonesia sehingga kita tidak perlu lagi jadi TKI. Presiden mana yang pernah berfikir untuk tahun pertama menjabat akan melaksanakan program memakmurkan rakyat di Sumatera, tahun kedua akan memakmurkan rakyat Kalimantan dan Sulawesi, tahun ketiga akan memakmurkan rakyat Mataram dan tahun terakhir memakmurkan rakyat Irian Jaya? Atau lebih sederhananya begini, semua menteri Negara dibagi dalam empat kelompok, masing-masing kelompok digilirkan untuk memakmurkan rakyat di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, Mataram dan Irian Jaya. Jika Hal itu terlaksana, mungkin kesejahteraan rakyat tidak akan terpuruk seperti sekarang ini. Ini cara berfikir orang awam, tentu ada metode yang lebih efektif jika ditangan para ahli, bukan? Pasti Rakyat diluar pulau jawa tidak akan melihat ketidak adilan, terbenam dalam lumpur kemiskinan yang tak bertepi. Dibidang sosial pun begitu. Keadaan sudah merembet sangat jauh tanpa disadari. Lihat saja pada “Program Trans TV bagi-bagi hadiah TV”. 365 buah hadiah TV yang dibagikan, hanya berapa buah saja yang dibagikan keluar pulau Jawa. Lihat juga pada “Hadiah Telkomsel Point”. Hampir saja tidak ada yang pemenangnya diluar Pulau Jawa. Begitu juga yang lainnya, Anda tentu lebih banyak tahu dari pada saya. Alasan bagi mereka tentu mempertimbangkan yang lebih ekonomis, namun mereka tidak tahu atau tidak peduli andilnya itu makin meminggirkan Rakyat diluar Pulau Jawa. Saya pernah berharap untuk melihat laporan mudik Lebaran di Sulawesi atau Kalimantan, sekedar ingin melihat terminal Bis saja, tapi harapan saya itu entah kapan akan terkabul. Semua Televisi di Negeri ini lebih suka menyorot padatnya arus lalu lintas Pantai Utara atau Jalur Selatan Pulau Jawa. Mereka semua seakan-akan sepakat bahwa yang namanya Indonesia adalah Pulau Jawa. Semua yang mereka lakukan itu mungkin sedang menggiring kita supaya cerai berai. Hampir seluruh Pulau Jawa jalan raya sudah bagus, malah banyak jalan Tol akan dibangun. Di Jakarta, jalan layang sudah berlapis tiga tingkat. Sayang sekali, Jalan Trans Sumatera, Trans Kalimantan, Trans Sulawesi dan Trans Irian Jaya sangat menyedihkan.
Hal kedua yang jadi penyebab Indonesia cerai berai adalah karena di DPR tidak ada wakil rakyat, sebab mereka sebenarnya adalah Wakil Partai, meski dia dipilih oleh rakyat. Maka jangan heran, jika janji semasa kampanye tinggal janji, kenyataannya hanya mimpi. Maka jangan heran pula jika ada yang menjadikan RUU sebagai proyek memperkaya diri dan kelompoknya seperti yang terjadi untuk Daerah Riau baru-baru ini. Malahan DPR-RI memutuskan hal yang bertentangan dengan pendapat Anggota yang berasal dari daerah yang bersangkutan. Bukan kah ini menunjukkan Anggota DPR-RI itu bukan wakil rakyat secara nyata, tapi adalah wakil dari Partai yang mencalonkan mereka? Saya yakin, jika boleh dipilih Calon anggota DPR Independen (bukan calon dari Partai) maka rakyat akan ramai-ramai memberikan suara pilihannya pada calon independen itu. Lihat saja pemilihan Gubernur dan Bupati di Aceh, 80 % yang menang adalah calon independen. Tanda apakah itu, jika bukan tanda kita akan cerai berai?
Hal ketiga yang jadi penyebabnya adalah pemborosan. Jika sebuah proyek berharga 2 milyar, maka anggarannya mestilah 3,5 milyar. Jika tidak demikian maka proyek itu tidak bakal jadi. Apa tidak bisa dihemat? Jawabnya : “M-u-s-t-a-h-i-l”. Kenapa mustahil? Karena ada siluman yang mesti –tidak boleh tidak - ikut menikmati dana proyek itu. Malah bukan hanya boros soal uang, tapi boros dalam segala bidang. Tanya mereka yang PNS. Mau naik gaji berkala, lampir kan fotocopy SK 5 jenis. Mau naik pangkat, lampirkan lagi yang 5 jenis itu. Naik berkala lagi, lampirkan lagi fotocopy yang sama, naik pangkat lagi dan seterusnya. Bayangkan jika Propinsi punya PNS satu juta orang. Berapa juta lembar fotocopy yang tertimbun tiap departemen-nya? Usia Negeri ini sudah 63 tahun, hitunglah berapa milyar lembar fotocopy yang terhimpun ditiap Propinsi di Indonesia. Dan ini membuka peluang yang tidak mungkin itu, menjadi mungkin saja. Misalnya, ada yang terkena sanksi tidak boleh naik pangkat, dengan cara itu menjadi mungkin saja yang bersangkutan itu naik pangkat. Malah yang sudah pensiun atau sudah meninggal pun masih mendapatkan gaji penuh seperti belum pensiun atau belum meninggal.
Hal keempat adalah Premanisme. Preman yang saya maksud adalah preman yang terhormat, berdasi dan punya kantor. Terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, sendiri-sendiri maupun yang terorganisir. Hidup nya sarat dengan pungli. Ada yang berkaitan dengan Surat-surat penting, dengan Imigrasi, pajak dan bea cukai, perizinan, Asuransi, hukum, pokoknya semua bagian yang berhubungan dengan layanan publik dan bahkan juga sudah masuk kedalam ranah pendidikan. Misalnya, agar diterima sekolah tertentu, dapat ijazah gelar tententu, dan seterusnya. Sudah menjadi rahasia umum, meski bantahan sering dimuat di Media Massa. Celakanya malah jika urusan premanisme ini terkait antar dua propinsi atau lebih, sekedar contoh adalah tertahannya bantuan luar Negeri untuk Aceh di Bea Cukai Sumatera Utara seperti yang terjadi baru-baru ini. Premanisme disini tidak peduli apapun dampak yang terjadi akibat tingkahnya.
Hal kelima adalah Peraturan dan Hukum. Sudah kasat mata bahwa Peraturan dan Hukum dapat dihargai dengan sejumlah uang. Mulai yang kecil sampai yang besar-besar. Yang kecil semisal pelanggaran peraturan lalu lintas, yang besar pula semisal aliran dana BLBI dan aliran dana BI ke DPR-RI. Di Negeri Kita, Peraturan dan Hukum itu hanya menjadi alat Prasangka dan Diskriminasi. Karena “suatu prasangka” maka boleh saja izin tidak diberikan, karena begitu lah aturan mainnya. Karena “tidak senang/Diskriminasi” maka boleh saja permohonan tidak diterima. Jika sudah demikian, kapan Irian Jaya bisa berkembang? Kapan Kalimantan bisa meraih kemajuan? Jangan menyangka Irian Jaya atau Kalimantan tidak menyadari atau tidak terfikir yang seperti itu. Benih-benih perpecahan itu sebaiknya tidak dibiarkan tumbuh subur, tidak dipoles dengan alasan yang sengaja di Ilmiahkan. Kenapa tidak diberantas benih perpecahan itu dengan “kenyataan” yang riil?
Saya teringat, dulu Pak Amien Rais pernah menggagas agar Indonesia jadi Negara Federasi saja supaya kemakmuran rakyat cepat terwujud. Memang gagasan itu sangat bagus, tapi menurut saya, gagasan beliau itu sudah terlalu jauh. Masih ada banyak jalan lain, selain jalan federasi itu perlu di tempuh. Misalnya saja. Buang jauh-jauh “Prasangka dan diskriminasi” dari semua Departemen “Kabinet” yang dibentuk. Jika “Kabinet” sudah bersih dari “Prasangka dan Diskriminasi”, berikan penghasilan yang wajar untuk Polisi dan Hakim. Beri hukuman berat untuk kesalahan Polisi dan Hakim. Hukuman tingkat sedang misalnya “Pecat”, dan hukuman berat adalah “Hukuman seumur hidup atau hukuman mati”. Polisi yang diluar kantor haruslah berpakaian preman, agar penjahat itu dapat tertangkap tangan. Polisi mestilah tahu tentang Peraturan dan Perundang-undangan, agar tidak ragu-ragu jika mendapati hal-hal yang menyalahi ditengah-tengah masyarakat. Serahkan perekrutan Polisi dan Hakim itu pada sebuah Komisi Independen yang dibentuk untuk tujuan itu. Atur supaya TNI tidak lagi berseliweran dijalan dengan baju seragamnya, seperti di Malaysia, misalnya.
Aceh yang tercatat sudah dua kali memberontak itu sudah cukup untuk menjadi bahan kajian dan pelajaran, apa yang sedang berlangsung dalam diri masyarakat Indonesia ini. Rasanya, jika rakyat dapat mengecap kemakmuran yang diharapkan, RMS dan OPM itu tidak akan populer lagi alias akan padam dengan sendirinya. Dan yang lebih penting lagi, hasil seminar mahasiswa serantau di Negeri Belanda itu tidak akan pernah menjadi kenyataan. Setuju?

Baca lanjutan......

Template by : kendhin x-template.blogspot.com