My idea is not for sale or rent but can use by permission <<==>> Ide saya tidak di jual atau di sewakan, tapi dapat di pakai dengan seizin saya

Senin, 16 Februari 2009

GILA HORMAT KAH ANDA?

Gila hormat diam-diam kini sudah merajalela. Tidak disadari itu adalah sebuah kelainan, penyakit kejiwaan. Merasa diri lebih tinggi derajatnya dari orang lain, yang dalam bahasa kesehatan disebut waham. Tapi bukan penyakit menular, penyakit ini hanya dimiliki oleh orang yang mengerti arti sebuah harapan dan keinginan untuk dihormati. Dalam konteks penyakit jiwa disebut waham, tapi dalam kancah sosial (Patologi sosial) disebut dengan Gila hormat.

Jangan-jangan Anda dan saya juga termasuk dalam golongan ini. Benarkah?
Gail W. Stuart mengatakan : “Waham adalah keyakinan yang salah dan kuat dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan realitas sosial”. Jadi, semua keyakinan yang salah dan kuat dipertahankan, termasuk dalam kelompok waham.
Mungkin yang kita perkirakan selama ini penderita penyakit waham, adalah mereka yang sudah mesti mendapat perawatan di Rumah Sakit Jiwa. Itu memang benar, sebab penyakitnya itu sudah memasuki tahapan yang membahayakan diri dan kesehatannya. Tapi sadarkah kita, bahwa penyakit waham atau gila hormat pada dekade terakhir ini sudah melanda segala lapisan masyarakat, mulai dari tingkat awam hingga tingkat Elit?
Seorang pimpinan ditingkat Provinsi misalnya, berhasil mempromosikan suatu jabatan kepada bawahannya. Tadinya bawahannya itu memegang jabatan yang hampir tak berarti ditingkat kabupaten, kini dilantik untuk menduduki jabatan eselon ditingkat Provinsi.
Lalu ia bertanya kepada bawahannya itu disuatu kesempatan, “Ada kamu melakukan sujud syukur?”. Spontan bawahannya itu menjawab :”Tidak”. Alasannya, “jika berhasil mendapat Haji Mabrur memang mesti ‘sujud syukur’, tapi jika mendapat amanah dan tanggung jawab yang lebih besar, seharusnya mawas diri”. Para Sahabat Rasul ketika dibai’at menjadi Khalifah bukannya melakukan sujud syukur, tapi malah mengucap : “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” (=Sesungguhnya kita datang dari Allah dan sesungguhnya kita akan kembali kepada-Nya).
Lihat lah, betapa menonjolnya rasa gila hormat dalam episode diatas. Dan tentunya hal serupa itu dewasa ini sudah dianggap hal yang lumrah saja. Kenapa? Karena, itu tadi, penyakit ini sudah melanda segala lapisan masyarakat, dari tingkat awam hingga para Elit.
Oleh sebab itu jangan heran jika ada yang bertanya : “Adakah kamu sujud syukur” ketika Anda ternyata lulus menjadi PNS, diterima menjadi pegawai BUMN, dan lain sebagainya, meski kelulusan itu berkat katebelecenya. HAMKA, dalam bukunya “Tasauf Modern” mengatakan bahwa Sujud syukur itu semestinya dilakukan karena mendapat suatu rahmat. Lantas menjadi PNS, menjadi pegawai BUMN, mendapat jabatan yang lebih tinggi itu suatu rahmat ataukah suatu tanggung jawab?
Jika anda sependapat dengan mereka yang naik jabatan juga harus sujud syukur, berarti anda termasuk kelompok yang sombong, alias gila hormat. Ingatlah, ketika Allah ingin memberikan Amanah (tanggung jawab) kepada makhluknya, semuanya menolak, kecuali manusia. Manusia itu menerima amanah itu karena sifatnya yang sombong.
Dikalangan awam, gila hormat itu sangat kentara. Sebab, segala tingkah polahnya mengarah ke “Biar dia kenal siapa saya”. Jadi, lagak lagunya tentu saja seruduk sana seruduk sini, tidak peduli benar-salah, baik-buruk, enak-tak enak. Meski persoalannya sederhana saja, tiba pada beliau ini bisa menjadi besar dan rumit. Otomatis orang menaruh hormat padanya. Jika tidak menghormatinya, bisa-bisa mendapat masalah dibelakang hari. Jadi untuk lebih aman, hormatilah dia.
Nah, ini yang paling rumit. Dikalangan Elit. Dalam kelompok ini tidak mudah terdeteksi, terutama oleh orang banyak. Tapi bukan berarti memang tidak terdeteksi, masalahnya hanya terletak pada siapa yang menyadari dan siapa pula yang tidak.
Para Elit pun ada yang berbuat seperti ini : “Biar dia kenal dengan saya, jangan seenak perutnya saja menyepelekan saya”. Ada-ada saja permasalahan yang seharusnya tidak ada menjadi muncul dan menghambat proses kerja. Tapi jika kita pandai mengelus dan mengangkat telor, semua urusan termasuk yang mustahil pun menjadi lancar saja. Hal ini ada yang nyata-nyata, dan ada pula yang diam-diam. Sebab itu lah maka hanya diketahui oleh kelompok yang terbatas jumlahnya.
Ada lagi yang mungkin tidak menyadarinya, atau mungkin sekedar terikut tren masa kini. Yakni mereka yang sengaja memasang gelar yang banyak diseputar namanya. Realitas sosial, yang dimintakan selalu gelar yang terakhir, tapi pada kenyataannya semua gelar yang didapat dengan sah atau tidah sah itu dicantumkan semuanya. Sebagai contoh : Prof. Dr. Ir. H. Hananan, SKp. MKes. MAppSc. DNSc.
Dari contoh diatas, Ir dan SKp adalah gelar Strata-1. MKes dan MAppSc adalah gelar Strata-2. Dr dan DNSc adalah gelar Strata-3. Profesor adalah gelar kehormatan akademis. Sedangkan H adalah gelar tidak sah yang dicantumkan sesudah menunaikan Ibadah Haji. Sebetulnya sederhana saja : Prof. Hananan, DNSc. Itu saja sudah cukup untuk menunjukkan siapa dia.
Tapi karena dilanda penyakit, ketika gelar berderet itu dituliskan mengapit namanya, lantas ditandatangani saja diatasnya. Seharusnya dia merasa sedikit sungkan dengan amanah yang besar yang terkandung dalam gelar yang banyak itu.
Ada seorang yang saya kenal, Sarjana Pendidikan dengan gelar SPd. Ketika selesai menunaikan Ibadah Haji, dia marah-marah. Pasalnya karena didepan namanya diletakkan huruf H. yang bermakna Haji. “Haji itu bukan gelar, dan saya naik haji itu bukan mencari gelar tapi mencari Ridha Allah,” katanya. “Jika ingin memberi gelar juga, sekalian tulis SSPZH. Saya tidak mau hanya H saja.” Katanya menambahkan. (SSPZH = Syahadat, Shalat, Puasa, Zakat dan Haji). Logikanya, dia melaksanakan kelima rukun Islam itu, kok hanya rukun yang ke 5 saja diberi gelar? Dan hingga hari ini, gelar Haji itu tidak mau digunakannya.
Lagi pula, gelar H. itu tidak sah. Lembaga atau institusi mana yang berhak menabalkan gelar itu pada seseorang yang selesai menunaikan Ibadah Haji? Tidak ada satu lembaga pun yang berhak memberikan gelar tersebut. Ini lah salah satu penyakit yang bernama waham. Juga ini membuktikan bahwa penyakit ini sudah melanda semua kalangan.
Relitas sosial, gelar itu diberikan secara sah oleh sebuah institusi. Juga gelar S-2 itu dapat diperoleh setelah menyelesaikan S-1. Demikian juga dengan gelar S-3, baru didapat setelah menyelesaikan S-2, dan seterusnya. Jadi tidak perlu menyebut gelar S-1 S-2 dan S-3 sekaligus. Misalnya : Abdul Hana, PhD. Realitasnya, gelar PhD itu baru didapat setelah menyelesaikan Strata-1 dan Strata-2. Kecuali memang kita menyukai penyakit yang bernama waham itu.
Suatu ketika Rasul keluar menuju pasar. Dilihatnya para sahabat berkumpul dengan orang banyak menyaksikan sesuatu. Rasul bertanya apa yang mereka lihat. Para sahabat menjawab bahwa ada orang gila sedang mengamuk. Rasul berkata : “Itu bukan orang gila, tapi orang yang sedang mendapat musibah dari Allah.” Para sahabat terkejut, lantas bertanya : “Lalu bagaimana yang sesungguhnya gila, ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab : “Orang gila adalah yang berjalan diatas muka bumi ini dengan penuh kesombongan, angkuh dan takabur.”
Tidak banyak yang perlu dijelaskan dengan sabda rasul diatas. Coba saja renungkan, pantaskah kita berjalan diatas muka bumi ini dengan sombong? Apakah bumi ini milik kita? Apakah harta yang ada itu milik kita? Kita sebenarnya tidak punya apapun. Nyawa yang ada dibadan kita pun bukan milik kita, hanya barang pinjaman. Yang mungkin esok atau lusa akan kembali kepada pemilik yang sebenarnya. Lalu apa yang dapat kita sombongkan? Sudah tidak memiliki apapun, berlagak sombong pula, seakan-akan dia memiliki segala-galanya. Tidak kah yang demikian itu orang gila? Pikirkan lah.
Baca lanjutan......

Kamis, 05 Februari 2009

HAMIL TANPA KAWIN

(“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk” QS.17:32.)
Zina, adalah hubungan sex tanpa nikah. Itu pengertian aslinya. Namun, jika diperdalam lagi, zina adalah hubungan berlainan jenis (tanpa ikatan pernikahan),
dimana lawan jenisnya timbul gejolak nafsu syahwatnya dengan sebab adanya perangsang. Pendek kata, aksi yang menimbulkan reaksi, yang terjadi pada seorang wanita dan seorang pria, yang belum menikah. Dengan demikian, seorang wanita yang memakai wewangian dengan maksud agar lelaki yang menghirup wewangian dari tubuhnya itu tertarik kepadanya, maka itu pun tergolong ber-zina. Begitu lah.
Sampai saat ini kasus Hamil diluar Nikah masih menjadi hal yang tabu di Indonesia, baik bagi yang beragama Islam maupun bukan. Sehingga kasus pengguguran kandungan, dilakukan secara diam-diam dan melanggar hukum, seperti yang diberitakan media massa belum lama ini, di Jakarta.
Sebenarnya, Hamil diluar Nikah dan Pengguguran Kandungan adalah bertautan sangat erat seperti dua sisi mata-uang. Dengan adanya kasus Hamil diluar Nikah maka Pengguguran Kandungan pun marak dimana-mana. Sebaliknya, dengan tersedianya Sarana Pengguguran Kandungan maka kasus Hamil diluar Nikah pun bermunculan. Tapi, jika sarana Pengguguran Kandungan tidak tersedia, atau bayarannya mahal, maka pilihannya adalah membuang janin yang tak dikehendaki itu. Itu makanya kita sering mendengar ada janin dibuang, disiarkan melalui media massa, baik janin itu masih bernafas atau sudah tak bernyawa lagi.
Titik paling krusial dalam masalah ini adalah : HAMIL YANG TAK DIKEHENDAKI. Pasangan itu ingin meneguk nikmatnya hubungan suami isteri, tapi tidak ingin hamil. Karena hamil sebelum menikah adalah zina, sebab itulah Tuhan melarang umatnya MENDEKATI zina seperti yang penulis nukilkan diawal tulisan diatas.
Mendekat saja tidak dibenarkan, apalagi berbuat zina, itu adalah perbuatan keji dan terkutuk. Mendekati zina adalah bergaul rapat wanita dengan pria, berdua-duaan ditempat yang sepi, berpegang-pegangan, raba-meraba, berciuman dan seterusnya, dan seterusnya. Ringkasnya, semua hal yang dapat mebangkitkan Nafsu Berahi tergolong perbuatan mendekati Zina.
Wanita adalah makhluk yang lemah, bukan dalam arti fisik. Dia lemah dalam pergulatan melawan nafsunya sendiri. Ketika nafsu sudah menggejolak, meski mulut mengucap kata “JANGAN” tapi tangannya sudah tak mampu lagi menolak pria yang menggerayangi tubuhnya. Kelemahan ini tentu saja dimanfaatkan dengan baik oleh pacarnya, yang sejak awal memang berniat ingin menikmati, sebelum hal itu dibolehkan (menikah).
Hanya sebagian kecil pria yang mau bertanggung jawab, menikahinya sesudah ternyata dia hamil, namun lebih banyak pula yang tidak mau. Berbagai alasan muncul untuk menghindarinya. Lebih aman lagi jika minggat entah kemana. Tinggal si Wanita menanggung derita lahir bathin. Malah ada yang nekat menggugurkan jabang bayi dari kandungan, meski nyawa sendiri jadi taruhannya. Dewasa ini nampaknya sudah lebih ekstrim, membuang jabang bayi itu biar dipelihara orang lain. Atau lebih ekstrim lagi, membunuh jabang bayi yang tak berdosa itu, lalu dibuang.
Sudah dilakukan berbagai upaya untuk mencegah hal itu agar jangan terulang, namun belum memperlihatkan hasil seperti yang diharapkan. Keimanan saja masih dapat dikalahkan oleh gejolak nafsu yang digelorakan syetan itu. Maka Tuhan berfirman : “Jangan mendekati zina.” Sebab, jika mendekatinya, syetan pasti menang dalam menjerumuskan kita ke “Jalan yang keji dan buruk” itu.
Suatu ketika pada tahun 1984, di Jakarta, heboh dengan kejadian yang tak masuk akal. Ceritanya begini; Seorang Ustaz yang namanya begitu harum dalam masyarakat, tiba-tiba tersentak dengan keadaan Putrinya yang ketahuan Hamil, sebab belum menikah. Dunia ini rasa berputar sangat kencang dihadapannya. Berita yang, bagai mendengar halilintar disiang bolong. Dia langsung pulang menjumpai Putrinya, mau disembelih putrinya itu, baru puas rasanya. Darahnya mendidih. Ternyata putrinya bersumpah dengan nama Allah bahwa dia tidak pernah berzina dengan siapapun. Mendengar sumpah dengan membawa Asma Allah, sang Ustaz baru terfikir kemungkinan-kemungkinan lain.
Mungkin anaknya menderita suatu penyakit, atau pun boleh jadi terkena sejenis sihir. Lantas langkah pertama yang dilakukannya adalah memeriksakan anaknya pada bidan di dekat tempat tinggalnya. Bidan itu menyatakan bahwa anaknya positif hamil, dengan usia kandungannya sekitar 14 minggu. Sang Ustaz tidak dapat menerimanya begitu saja. Atas saran kawannya, dua hari setelah itu, putrinya itu dibawa ke dokter ahli kandungan. Dan hasilnya? Keperawanan anaknya masih utuh, tidak ada tanda-tanda selaput kegadisannya robek. Positif hamil dengan usia kandungannya 13 minggu.
Pak Kiyai kita ini tambah pusing tujuh keliling. Anaknya bersumpah tidak berzina, terbukti dengan keperawanannya yang masih utuh. Tapi bagaimana mungkin anaknya positif hamil? Adalah tidak masuk akal, tidak berzina, tapi bisa hamil. Setan mana pula yang menyetubuhi putrinya sehingga bisa hamil? Tapi itu lebih mustahil lagi, mana mungkin disetubuhi setan bisa hamil. Setan itu berbeda dengan jenis manusia. Atas dasar pemikiran itulah sang Kiyai itu bertanya kesana kemari untuk mendapatkan jawabannya yang masuk akal.
Akhirnya sampailah persoalanya ke seorang Profesor dibidang ini. Kata beliau, jawaban yang masuk akal ada pada putrinya sendiri. Maka dibawalah putrinya itu menghadap dihari yang dijanjikan. Saat wawancara itu terjadi, sang Ustaz tidak mendengarnya karena dia disuruh tunggu diluar, wawancara itu berlangsung lebih dari 2 jam. Sementara sang Ustaz gelisah sendiri penuh tanda tanya.
Ketika Ustaz tersebut dipanggil masuk, terlihat anaknya menelungkupkan muka dimeja sambil sesungguk berkali-kali karena habis menangis. Dia bertanya, “kenapa menangis?”, Putrinya bukan menjawab tapi malah bertambah keras tangisnya. Professor menyuruhnya diam, sementara dia akan bicara dengan sang ayah. Barulah suara tangis itu mereda, walau muka masih menelungkup.
“Begini Pak Ustaz”, demikian profesor itu memulai pembicaraan. “Saya mohon Bapak mendengarkan saja dengan cermat dan penuh kebijakan, ya?”, lanjut profesor itu. “Insya Allah sayapun berharap dapat bersikap demikian, maka saya datang kemari”, jawab Ustaz pula.
“Dalam Islam, orang yang melakukan kesalahan/pelanggaran akan bebas dari dosa, termasuk Bapak dan Putri Bapak, jika :
1. Tidak tahu-menahu sampai dia dapat Ilmu/Pengetahuan tentang hal itu. Bayi tidak berdosa jika melakukan kesalahan sampai dia faham bahwa itu salah, hingga dia akhil-baligh yakni sudah mimpi basah atau berusia 14/15 tahun.
2. Tertidur, hingga saat dia terjaga.
3. Mabuk, hingga saat hilang mabuknya.
4. Gila, hingga sembuh dari gilanya.
Dalam hal ini, Bapak dan Putri Bapak masuk dalam kategori pertama, yakni tidak tahu-menahu sampai mendapat Ilmu Pengetahuan tentang hal itu. Maka sekarang ini saya ingin memberikan Pengetahuan kepada Bapak dan Putri Bapak, semoga Allah memberikan hidayah-Nya kepada kita semua.”
“Sebenarnya,” kata profesor itu melanjutkan sambil menarik nafas. “Anak Bapak ini punya pacar, karena segan lah maka mereka pacaran diam-diam tanpa sepengetahuan Bapak dan Ibu, sudah setahun lamanya. Disuatu minggu, saat Bapak pergi kerumah mertua bersama Ibu, pacarnya datang kerumah. Mereka pacaran hanya dirumah saja, tidak kemana-mana, karena dia sangat patuh sama Bapak....”. Bicara Profesor itu terpotong dengan ledak tangis si Putri. Setelah beberapa saat ia terdiam, profesor meneruskan lagi : “Mereka tidak berzina, menurut putri Bapak. Mereka hanya berpelukan, berciuman dan berguling-guling dilantai. Saat itulah Sperma pacarnya itu tumpah, tepat diatas (maaf) celana dalam Putri Bapak. Karena kecapaian, mereka pun Akhirnya tertidur, dua jam lebih menurut pengakuannya.”
“Pengertian awam, berzina itu adalah berhubungan sex. Dengan demikian (hubungan sex) baru seseorang menjadi hamil. Padahal, sebenarnya hamil itu bukan karena hubungan sex, tapi karena bertemunya Sperma laki-laki dengan Sel Telur pada wanita. Jadi, dalam kasus ini, tanpa sepengetahuan Putri Bapak, Sperma itu menembus kain celana dalamnya, dan kemudian bertemu dengan sel telur, maka terjadilah kehamilan tanpa mengganggu selaput daranya. Jika Bapak fikir Putri Bapak salah, maka pertama sekali Bapak harus menyalahkan diri sendiri. Sebab, Putri Bapak tidak mengerti, bagaimana zina itu sesungguhnya, dan sangkanya tidak mungkin hamil tanpa berhubungan sex. Pengetahuannya itu sebatas apa yang Bapak ketahui dan sampaikan kepadanya.”
Pembicaraan profesor terputus, sang Putri Meledak lagi tangisnya sambil bersimpuh memeluk kaki orang tuanya, “ampunilah saya Pak, saya sekarang rela dibunuh sekalipun......,” kata anaknya berhiba. Sang Ustaz akhirnya tak bisa menahan tangisnya lagi. Kedua anak beranak itu berpelukan sambil bertangis-tangisan. Sang profesor pun terpana tak tahu mau bilang apa.
Maha benar Allah dengan Firmannya : “Dan janganlah kamu mendekati zina.” Karena siapa yang mendekat, pasti akan terjerumus kedalamnya. Pada bagian lain, Tuhan memerintahkan siapa yang tak kuat menahan gejolak nafsu, agar segera menikah. Jika tidak sanggup, maka hendaklah menahan diri (berpuasa).

Baca lanjutan......

Template by : kendhin x-template.blogspot.com